Rabu, 28 Januari 2009

PLASTIK: SOLUSI BERBAGAI SUMBER MASALAH

Sebagian orang beranggapan, jika pelaku industri mengambil bioplastik sebagai solusi atas fluktuasi harga minyak dunia tahun lalu, maka krisis pangan dunia akan semakin dekat. Dengan bahan pangan seperti kedelai, jagung dan ketela sebagai alternatif bahan baku minyak [biofuel], disadari telah menjadi penyumbang utama krisis pangan dunia. Bayangkan, jika setiap satu liter biofuel dihasilkan dari bahan pangan yang seharusnya bisa dimakan satu orang selama setahun!

Hengky Wibawa memberikan pandangan, bahwa plastik bukan lagi sumber masalah, justru seharusnya, problem plastik bisa dibalik menjadi profit.

Sebagai model kemasan paling diminati di seluruh dunia karena sifatnya yang lentur, plastik juga dinilai sarat masalah, utamanya ketika ia bersentuhan dengan lingkungan alam, akan membutuhkan waktu sangat lama untuk hancur sehingga bisa mengurangi kesuburan tanah.

Dengan menipisnya persediaan dunia akan bahan bakar minyak fosil, ditambah dengan ulah spekulan di bursa minyak dunia tahun lalu, otomatis berdampak pada industri packaging. Sebagaimana diketahui, bahan baku plastik sebagai flexible packaging berasal dari minyak fosil.

Saat industri secara umum menjerit akibat gejolak harga minyak, ternyata angka ekspor industri kemasan mengalami kenaikan signifikan? Di negara lain penghasil minyak, saat harga minyak dunia naik tentunya mengalami kenaikan profit. Di Indonesia, yang merasakan sebagai hal positif mungkin hanya industri packaging, ini karena naiknya permintaan eksport industri kemasan, dan dihargai dengan harga pasar dunia.

Adakah alternatif lain mengatasi mahalnya bahan baku plastik? Apakah lantas harus beralih ke kemasan lain misalnya kertas? Apakah industri kemasan plastik harus gulung tikar? Berbagai pertanyaan seperti diatas, kerap muncul di kalangan masyarakat. Namun berbagai jawaban ternyata juga belum dapat dijadikan sebagai solusi jangka panjang. Padahal ini sangat penting, dimana selain tren kemasan plastik [flexible packaging] meningkat diberbagai sektor, dan volume kebutuhan akan plastik di masyarakat juga mengalami peningkatan.

Jika bicara alternatif lain sebagai pengganti plastik, tentu dengan berbagai masalah juga. Misalnya kertas, sejak akhir 2007, persediaan bubur kertas [pulp] nasional telah habis akibat berhentinya praktek ilegal logging dan semakin ketatnya pengawasan pemanfaatan hutan tanaman industri. Selain memacu tingginya harga kertas nasional, nyaris tak ada bahan lain yang lebih murah.

Karenanya, meski dikenal sebagai sumber masalah lingkungan, dengan tidak menggunakan alternatif bahan makanan sebagai bahan baku, dunia plastik masih tetap peduli pada krisis pangan, menjadi kemasan paling murah, dan mudah digunakan.


Penyusutan Ukuran: Solusi Disaat Krisis

Kalangan industri pada umumnya yang membutuhkan kemasan plastik, beralih tren dan mulai mengatur langkah strategis agar tidak terjadi high cost dari kemasan. Misalnya makanan, minuman dan bumbu-bumbuan, lazimnya beban biaya packaging hanya 10% dari total biaya produksi. Kini beban angka sepuluh persen itu harus tetap dan tak boleh bergeser naik, karena akan menambah biaya produksi dan mau tak mau harus menaikkan harga barang yang akan berakibat penurunan loyalitas konsumen.

Tren bergeser kearah penyusutan ukuran kemasan. Bagi kalangan industri, ini adalah pilihan kalau ingin konsumennya tetap loyal. Dan konsumen juga tidak merasa dibebani kenaikan harga, meski kemasan dan volume menyusut. Akan halnya bagi designer, juga menjadi lebih mudah dan ringkas dalam bekerja karena ukuran bidang kreatifnya menjadi lebih kecil.

Beruntung, bahwa pelaku industri tidak mengambil bioplastik sebagai solusi. Jika ya, maka krisis pangan dunia akan semakin dekat. Apalagi kalau beton pondasi bangunan anti gempa dan korosi, juga menggunakan blocking plastik yang bahan bakunya adalah bahan pangan.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog

Pengikut